Sabdanews.net, Serang Raya – Dewan Eksekutif Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Maulana Hasanuddin (SMH) Banten, melalui kementerian perundang-undangan (KemenPeru) Dema UIN Banten menyelenggarakan diskusi webinar tentang kasus korupsi di Banten. Hal ini disampaikan oleh Presiden Mahasiswa UIN Banten Faiz Naufal Alfarisi kepada wartawan, Jum’at (28/05/21).
Ia menuturkan kegiatan webinar mengangkat tema ‘Desas Desus Berujung Kasus Dana Hibah Pondok Pesantren di Pemprov Banten, dengan dua narasumber yakni Uday Suhada selaku Direktur Eksekutif Aliansi Lembaga Independen Peduli Publik (ALIPP) sekaligus aktivis penggiat anti korupsi, Afriman Oktavianus selaku Gubernur Banten Lawyer Club (BLC). Peserta yang mengikuti eebinar tersebut kurang lebih 70 orang.
“kami melihat penyampaian narasumber dan antusias dari peserta semoga acara diskusi ini menjadi salah satu tempat menggali informasi ” ucap Ketua Dema UIN SMH Banten.
Kendati demikian, ia mengatakan Dema UIN tidak berniat menyudutkan pihak manapun dalam kegiatan diskusi webinar, semata-mata hanya ingin menggali informasi dari segi kronologi maupun yuridis.
“Kami hanya ingin mencari fakta yang terjadi dalam rangka bertabayun,” kata pria yang akrab disapa naufal itu.
Lebih lanjut Ia menjelaskan, Dema UIN mengapresiasi dana hibah ponpes, karena bertujuan untuk kesejahteraan ponpes di Banten, tetapi harus dipahami dibalik kelebihan pasti ada sisi kekurangan mulai dari sistem atau penerapannya.
“Program bantuan pondok pesantren itu sangat baik, kalau tujuannya untuk mensejahterakan ponpes yang ada di Banten,” tambahnya.
Narsum pertama, Uday Suhada menyampaikan, kejadian serupa pernah terjadi di tahun 2011 seharusnya kejadian lampau menjadi pembelajaran atau evaluasi pembenahan untuk kedepannya.
Sekarang kasus yang sedang bergulir di Kejaksaan Tinggi Banten menangani dana bantuan untuk ponpes yang dikorupsi.
“Saya memandang ini sangat miris sekali, dana hibah untuk ponpes juga ikut menjadi santapan untuk memperkaya diri pribadi atau kelompok,” tegasnya.
Ia juga menambahkan, kasus yang ditemui di lapangan beragam mulai adanya dana bantuan yang dipangkas sampai data penerima bantuan yang fiktif.
Dana yang diberikan secara cuma-cuma untuk pondok pesantren di Banten ada dua, pertama dana hibah reguler sekitar Rp.30.000.000,00 kedua dana hibah berbentuk fisik sebesar Rp.100 Jutaan.
“Inilah yang saya temuin, kenyataan masih banyak oknum-oknum yang bermain dengan uang rakyat apalagi kasus kali ini dana hibah untuk pesantren,” tegasnya.
Narasumber kedua, Afriman Oktavianus juga mengatakan, dalam sisi regulasi telah diatur dari adanya Peraturan Pemerintah (PP) sampai peraturan pelaksana berupa Peraturan Gubernur (Pergub) No.49 Tahun 2017 dan Pergub No.10 Tahun 2019 yang membahas tentang dana hibah.
“Aturan sudah ada, seharusnya dalam pelaksanaan juga bisa berjalan dengan baik dengan sistem yang sudah dibangun,” paparnya.
Ketika sudah ada regulasi yang mengatur itu, seharusnya pengimplementasian saat pemberian dana hibah tidak berhenti sampai disitu, tetapi adanya kontroling agar berjalan dengan lancar hingga selesai.
“Pengontrolan yang baik pada saat verifikasi dan validasi sesuai dengan data di lapangan. Sekarang kita hanya bisa berharap dan mengawal mudah-mudahan tidak adanya lagi kasus serupa seperti ini,” tutupnya.
Asr